Opini

Tantangan Implementasi dan Integritas Penyelenggara Pemilu di Tingkat Badan AdHoc

Tantangan Implementasi Dan Integritas Penyelenggara Pemilu Di Tingkat Badan Ad Hoc Oleh : JANIKO, M. Pd. Anggota KPU Kabupaten Merangin Periode 2013 -2018   Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia merupakan praktik demokrasi yang ambisius, bertujuan untuk efisiensi waktu dan biaya. Namun kompleksitas yang tinggi menempatkan beban kerja yang luar biasa pada garda terdepan pelaksanaannya. Badan Ad Hoc yang meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Badan-badan ini yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang profesional dan imparsial, justru menjadi titik kumpul berbagai tantangan dan masalah krusial. Tantangan tersebut bersifat multidimensi, mulai dari masalah manajerial sumber daya manusia, beban kerja ekstrem, hingga isu integritas yang mengancam kualitas dan legitimasi hasil Pemilu. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Merangin Periode 2013 – 2018 dan pengamatan penulis terhadap proses Pemilihan Serentak pada Tahun 2019 dan 2024 khususnya di Kabupaten Merangin, penulis merumuskan 3 (tiga) tantangan penyelenggara di tingkat Badan Ad Hoc Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai berikut : Tantangan Beban Kerja dan Kesejahteraan Tantangan paling mendesak dan menimbulkan keprihatinan publik adalah beban kerja yang eksesif, terutama pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Sifat serentak Pemilu, di mana petugas harus menghitung suara untuk lima jenis pemilihan (Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) sekaligus, secara langsung memicu waktu kerja yang tidak manusiawi. Petugas KPPS sebagai unit terkecil, sering kali terpaksa bekerja secara maraton, melampaui 12 (dua belas) jam, bahkan hingga 24 (dua puluh empat) jam tanpa istirahat yang memadai. Kondisi ini yang didokumentasikan dengan tragis pada Pemilu sebelumnya yang berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental petugas, hingga menimbulkan korban jiwa. Dari sudut pandang ilmiah, kelelahan ekstrem secara langsung berkorelasi negatif dengan akurasi dan ketelitian kerja. Kelelahan membuka peluang besar bagi human error, terutama dalam proses krusial seperti penghitungan dan penulisan data dalam formulir C.Hasil- KWK. Kesalahan sekecil apapun dapat disalahartikan, yang pada akhirnya merusak integritas data dan memicu sengketa di tingkat yang lebih tinggi. Tantangan Integritas dan Kualitas Sumber Daya Manusia Integritas penyelenggara Pemilu adalah prasyarat mutlak terwujudnya Pemilu yang jujur dan adil. Di tingkat Badan Ad Hoc, integritas diuji oleh dua faktor utama: netralitas dan kompetensi. Pertama, tekanan politik lokal seringkali sangat kuat di tingkat desa atau kecamatan. Petugas Ad Hoc yang direkrut dari komunitas setempat rentan terhadap intervensi, godaan politik uang, atau bahkan intimidasi dari kontestan. Menjaga prinsip imparsialitas (ketidakberpihakan) menjadi perjuangan berat di tengah lingkungan sosial yang politis. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Badan Ad Hoc yang sering kali menjadi sasaran aduan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bahkan pelanggaran tersebut menjadi bahan dan materi untuk diajukan ke Makamah Konstitusi (MK). Kedua, masalah kompetensi teknis juga menjadi hambatan. Pelatihan yang tergesa-gesa atau kurang memadai oleh KPU sering kali gagal memberikan pemahaman seragam tentang regulasi Pemilu yang kompleks. Akibatnya, PPK, PPS, dan KPPS di lapangan sering menghadapi kesulitan dalam menafsirkan aturan, terutama yang berkaitan dengan pemilih pindahan, surat suara yang sah atau tidak sah, dan prosedur rekapitulasi. Ketidakseragaman interpretasi ini berpotensi memicu masalah hukum dan administrasi yang seharusnya dapat dihindari. Bahkan yang lebih parah lagi, perubahan regulasi dari KPU Pusat terkait teknis terjadi pada saat dekat hari pemungutan suara, sementara kegiatan bimbingan teknis sudah dilakukan sebelumnya. Dan perubahan tersebut tidak secara menyeluruh sampai kepada penyelenggara di tingkat bawah untuk dilaksanakan, yang akhir menjadi masalah dan dianggap tidak sesuai aturan dalam menjalankan proses pemilihan. Tantangan Teknis dan Regulasi Implementasi Implementasi Pemilu di tingkat bawah juga terhambat oleh tantangan teknis dan regulasi. Meskipun KPU berupaya memodernisasi proses dengan aplikasi seperti Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi), adopsi teknologi ini tidak berjalan mulus di tingkat Ad Hoc. Di beberapa wilayah dalam Kabupaten Merangin khususnya daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur jaringan internet menjadi kendala besar dalam pengiriman data. Selain itu, literasi digital sebagian petugas Ad Hoc masih rendah, mengubah alat bantu teknologi menjadi beban tambahan. Petugas harus berjuang dengan aplikasi yang rumit sambil tetap wajib melakukan rekapitulasi manual (prosedur double checking), yang semakin menguras energi. Lebih jauh, tantangan koordinasi data antar-lembaga (misalnya antara KPU dan Bawaslu) seringkali menjadi isu yang menghambat pengawasan secara efektif. Ketidaksesuaian data pemilih atau keterbatasan akses pengawasan menunjukkan adanya diskoneksi antara kebijakan tingkat pusat dan realitas operasional di lapangan. Dalam hal ini, penting sekali untuk sinkronisasi dalam pemahaman teknis dan keterbukaan komunikasi dalam proses pelaksanaan di lapangan antara Pengawasan dan Penyelenggaraan. Tantangan yang dihadapi oleh Badan Ad Hoc dalam Pemilu serentak merupakan cerminan dari kompleksitas Pemilu itu sendiri. Masalah beban kerja yang berujung pada ancaman kesehatan, kerentanan integritas di bawah tekanan politik lokal, serta hambatan teknis dalam implementasi regulasi adalah tiga variabel kritis yang harus ditangani. Untuk menjamin Pemilu yang lebih berintegritas dan akuntabel di masa depan, intervensi strategis harus difokuskan pada: (1) Perbaikan regulasi untuk membatasi jam kerja dan menambah kuantitas personel Ad Hoc; (2) Penguatan sistem rekrutmen dan pelatihan yang menekankan pada standar kompetensi dan netralitas yang ketat; dan (3) Penyederhanaan dan penguatan infrastruktur teknologi agar benar-benar dapat mendukung, bukan memberatkan pekerjaan petugas di tingkat bawah. Dengan demikian, hanya dengan memberdayakan dan melindungi Badan Ad Hoc, kita dapat mewujudkan Pemilu yang bermartabat dan transparan.

Hak Politik yang Terjebak Oligarki dan Urgensi Pembentukan UN Guiding Principles on Political Parties and Democratic Governance

Hak Politik yang Terjebak Oligarki dan Urgensi Pembentukan UN Guiding Principles on Political Parties and Democratic Governance Oleh : Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M Dosen Hukum Internasional FH-UNJA, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi.   Hak Politik sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia Hak politik merupakan salah satu dimensi fundamental dalam sistem hak asasi manusia, karena melalui hak inilah warga negara dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Hak politik menegaskan hubungan antara individu dan kekuasaan, serta menjadi instrumen utama bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya secara sah dan bermartabat. Dalam perspektif filsafat politik klasik, hak politik tidak pernah dipahami sebagai hak yang netral tanpa tujuan. Aristoteles, dalam Politics, menempatkan partisipasi politik sebagai sarana untuk mencapai the good life kehidupan publik yang dijalankan dengan kebijaksanaan dan keutamaan moral. John Locke dalam Two Treatises of Government menegaskan bahwa legitimasi politik hanya sah jika berasal dari kehendak bebas warga negara yang berakal sehat, sehingga hak untuk memilih dan dipilih harus dijalankan berdasarkan nalar dan tanggung jawab moral. Rousseau menambahkan dimensi etis bahwa partisipasi politik adalah wujud volonté générale atau kehendak umum yang mengarah pada kebaikan bersama, bukan pada kepentingan pribadi. Dengan demikian, hak politik tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab moral untuk mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan dan berintegritas. Partisipasi politik bukan sekadar prosedur pemilihan, tetapi merupakan tanggung jawab etis warga negara untuk memastikan lahirnya kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana. Hak Politik dalam Hukum Internasional dan ICCPR Dalam hukum internasional, hak politik memperoleh legitimasi normatif yang kuat melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Pasal 25 ICCPR menegaskan tiga hak utama warga negara: a) hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik secara langsung atau melalui wakil yang dipilih; b) hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang bebas dan adil; c) hak untuk mengakses jabatan publik atas dasar kesetaraan. Kovenan ini menjadi pilar utama sistem demokrasi internasional, karena menjadikan partisipasi politik sebagai hak asasi yang harus dijamin oleh setiap negara pihak (state party). Namun demikian, ICCPR hanya memberikan jaminan secara formal dan prosedural, belum menegaskan dimensi substantif dari hak politik itu sendiri. Hal ini terlihat dari tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai tanggung jawab aktor politik non-negara, seperti partai politik, dalam menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Akibatnya, meskipun negara telah melaksanakan pemilihan umum secara periodik, demokrasi substantif sering kali belum terwujud karena partai politik sebagai instrumen utama partisipasi justru bersifat oligarkis dan tertutup. Kelemahan ini menunjukkan adanya jurang normatif dalam ICCPR, di satu sisi hak politik diakui secara luas, tetapi di sisi lain mekanisme pelaksanaannya melalui partai politik belum diatur secara komprehensif. Padahal, dalam praktik politik modern, hak untuk memilih dan dipilih hanya dapat direalisasikan melalui partai politik sebagai saluran representasi. Hubungan Hak Politik dengan Partai Politik dan Demokrasi Dalam sistem demokrasi perwakilan, partai politik berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dan kekuasaan. Melalui partai politik, aspirasi rakyat diterjemahkan menjadi kebijakan publik, dan melalui partai pula proses seleksi kepemimpinan dilakukan. Oleh karena itu, partai politik merupakan instrumen pelaksanaan hak politik yang paling strategis. Namun, kenyataan di berbagai negara menunjukkan bahwa demokrasi internal partai politik sering kali lemah, baik dalam hal rekrutmen kader, pengambilan keputusan, maupun akuntabilitas publik. Banyak partai yang dikuasai oleh segelintir elite, sehingga proses politik menjadi tertutup dan transaksional. Indeks Demokrasi Global yang diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara, dengan skor 6,71 dan dikategorikan sebagai “flawed democracy.” Kondisi ini memperlihatkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2016. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2024 juga menunjukkan bahwa hanya 36% responden yang masih mempercayai partai politik sebagai lembaga representasi rakyat. Fakta ini menunjukkan adanya defisit demokrasi internal yang berdampak langsung pada kualitas kepemimpinan politik dan legitimasi sistem demokrasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya meninjau kembali hubungan antara hak politik dan partai politik, di mana negara tidak boleh berhenti hanya pada penyelenggaraan pemilu, melainkan juga berkewajiban memastikan partai politik dikelola secara demokratis. Kewajiban Negara dalam ICCPR: Dari Hak ke Tanggung Jawab Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ICCPR, setiap negara pihak memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjamin (to respect and to ensure) semua hak yang diakui dalam Kovenan tanpa diskriminasi. Artinya, negara bukan hanya dilarang untuk melanggar hak-hak politik warga negara (negative obligation), tetapi juga berkewajiban secara aktif untuk menjamin pelaksanaannya secara efektif (positive obligation). Konsep ini diperjelas oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment No. 31 (2004) paragraf 8, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab tidak hanya atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparatnya, tetapi juga oleh aktor non-negara jika negara gagal mengambil langkah yang wajar untuk mencegah, menyelidiki, atau menghukum pelanggaran tersebut. Dalam konteks ini, partai politik termasuk aktor non-negara yang memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan hak politik warga negara. Oleh karena itu, negara wajib memastikan agar partai politik tidak bertindak secara diskriminatif atau oligarkis dalam proses politik internalnya. Doktrin ini dikenal sebagai horizontal application of human rights, yaitu penerapan kewajiban negara dalam konteks hubungan antar subjek non-negara yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Demokrasi Internal Partai Politik dan Prinsip Good Democratic Governance Pelaksanaan demokrasi internal partai politik merupakan syarat penting bagi tegaknya good democratic governance. Prinsip ini menekankan tata kelola yang didasarkan pada akuntabilitas, transparansi, partisipasi, supremasi hukum, dan integritas. Menurut UNDP Governance for Sustainable Human Development (1997), demokrasi yang baik adalah demokrasi yang “memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi, memengaruhi, dan mengontrol keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.” Prinsip serupa ditegaskan oleh Venice Commission melalui Code of Good Practice in the Field of Political Parties (2008), bahwa partai politik harus mengelola urusan internalnya secara demokratis, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, good democratic governance menjadi standar normatif bagi negara untuk memastikan partai politik tidak hanya menjadi alat perebut kekuasaan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga publik yang menjamin partisipasi politik secara adil dan setara. Kelemahan Pengaturan Nasional dan Tantangan Implementasi Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih menempatkan demokrasi internal partai politik dalam kerangka administratif. Belum ada mekanisme substantif yang mengatur transparansi keuangan partai, rekrutmen kader yang terbuka, atau mekanisme akuntabilitas terhadap publik. Akibatnya, negara belum sepenuhnya menjalankan kewajiban hukumnya dalam ICCPR untuk menjamin pelaksanaan hak-hak politik secara efektif. Demokrasi prosedural memang telah berjalan melalui pemilu yang reguler, tetapi demokrasi substantif masih terhambat oleh struktur internal partai yang tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban negara dalam konteks ICCPR harus dimaknai lebih luas: negara tidak cukup hanya menyelenggarakan pemilu, tetapi juga harus memastikan partai politik tunduk pada prinsip-prinsip good democratic governance. Urgensi Rekonstruksi Hukum Internasional dan Nasional Melihat berbagai kelemahan tersebut, diperlukan rekonstruksi konseptual terhadap hak politik dalam ICCPR agar tidak berhenti pada dimensi prosedural, melainkan juga mencakup dimensi substantif. Negara harus dipandang sebagai duty bearer utama yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi demokrasi internal partai politik sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban internasionalnya. Rekonstruksi ini dapat dilakukan melalui pengembangan hukum internasional, baik dengan membentuk General Comment baru atau Optional Protocol ICCPR yang menegaskan kewajiban negara untuk memastikan prinsip good democratic governance diterapkan dalam partai politik. Urgensi Rekonstruksi Hukum Internasional dan Nasional Melihat berbagai kelemahan tersebut, diperlukan rekonstruksi konseptual terhadap hak politik dalam ICCPR agar tidak berhenti pada dimensi prosedural, melainkan juga mencakup dimensi substantif. Negara harus dipandang sebagai duty bearer utama yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi demokrasi internal partai politik sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban internasionalnya. Rekonstruksi ini dapat dilakukan melalui pengembangan hukum internasional, baik dengan membuat General Comment baru atau juga membentuk UN Guiding Principles on Political Parties and Democratic Governance (UNGP-PPDG), sebuah pedoman normatif yang menegaskan kewajiban negara untuk memastikan partai politik menjalankan prinsip-prinsip good democratic governance, serta tanggung jawab partai politik untuk menghormati hak-hak politik warga negara. UNGP-PPDG ini tidak akan menafikan ICCPR, tetapi melengkapinya dengan pedoman implementatif, sebagaimana UNGP on Business and Human Rights (2011) melengkapi ICCPR, ICESCR, dan ILO Conventions. Instrumen ini akan menjadi kontribusi akademik dan normatif yang orisinal, karena Memperluas cakupan horizontal application of human rights, Menyusun standar internasional baru bagi demokrasi partai politik, dan Mempertemukan human rights law dan democratic governance dalam satu kerangka global.

Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Berujung ke Mahkamah Konstitusi

PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA DI TPS BERUJUNG KE MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Hengki Anggota KPU Kabupaten Merangin   Pemilihan Kepala Daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerah yang dilaksanakan secara langsung dan demokratis. sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun Kabupaten/Kota sampai jajaran Panitia Adhoc meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas Pemutakhitan Data Pemilih (Pantarlih) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) penting untuk dapat melaksanaan Prinsip Profesional dan Akuntabel yang merupakan salah satu kunci sukses dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Aspek Profesional dapat dilihat dari Penyelenggara yang memiliki kompetensi dalam memahami dan menjalankan regulasi dalam bidang kepemiluan, sedangkan aspek Akuntabel ialah Penyelenggara dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan Pemungutan Suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) merupakan puncak dari Penyelenggaraan Pemilihan, dan menjadi sorotan utama dari berbagai pihak dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Sehingga penting untuk diselenggarakan sesuai dengan ketentuan. Dalam penyelenggaraan Pemungutan Suara pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merangin Tahun 2024 terdapat catatan dalam pelaksanaannya, pada penggunaan daftar hadir pemilih yang hadir di TPS. Dimana terdapat penggunaan daftar hadir yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pengisian daftar hadir merupakan langkah awal yang dilakukan oleh Pemilih sebelum masuk ke dalam TPS, sehingga daftar hadir sangat penting untuk memastikan pemilih yang hadir sudah tercatat dan tidak adanya penyalahgunaan pemilih yang datang ke TPS serta keakuratan data terkait dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dan jumlah surat suara yang digunakan guna kepentingan administrasi dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Panitia Pemilihan Kecamatan dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilihan Serentak Tahun 2024 menerima beberapa rekomendasi dugaan pelanggaran administrasi dari Panwaslu Kecamatan terkait dengan penggunaan daftar hadir pemilih yang tidak ditandatangani oleh Pemilih,  terdapat di 5 (lima) TPS dari 634 (enam ratus tiga puluh empat) TPS yang ada di Kabupaten Merangin. Atas rekomendasi tersebut Panitia Pemilihan Kecamatan wajib menindaklanjuti dan menyampaikan hasil tindak lanjut kepada Panwaslu Kecamatan. Pelanggaran administrasi Pemilihan berdasarkan UU Pilkada adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan di luar tindak pidana Pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan. Adapun lokasi TPS yang mendapat rekomendasi terhadap penggunaan daftar hadir terdapat di TPS 1 Desa Tambang Baru, Kec. Tabir Lintas, TPS 6 Kel. Dusun Bangko, Kec. Bangko, TPS 6 Desa Bukit Bungkul, Kec. Renah Pamenang, TPS 1 Desa Jelatang, Kec. Pamenang, dan TPS 4 Desa Jelatang, Kec. Pamenang. Berdasarkan hasil temuan Panwaslu Kecamatan terdapat daftar hadir yang tidak ditandatangani oleh Pemilih, tetapi ditandatangani oleh anggota KPPS, Rekomendasi Panwaslu Kecamatan terhadap semuan temuan tersebut adalah agar Panitia Pemilihan Kecamatan menindaklanjuti rekomendasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian Pelanggaran Administrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 138 sampai dengan Pasal 141 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yaitu UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2020 serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. sebagai Penyelenggara Pemilihan, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS wajib menindaklanjuti segala temuan atau laporan dalam bentuk rekomendasi yang disampaikan oleh Pengawas Pemilihan paling lama 7 (tujuh) hari sejak Rekomendasi diterima. Tindaklanjut rekomendasi ialah dengan menyusun telaah hukum dengan memperhatikan keterpenuhan unsur adanya Pelanggaran Administrasi Pemilihan, dan melakukan rapat pleno berdasarkan Telaah Hukum untuk memeriksa dan memutus tindak lanjut Pelanggaran Administrasi Pemilihan, serta menyampaikan surat hasil tindak lanjut rekomendasi kepada Panwaslu Kecamatan. Berdasarkan hasil tindak lanjut Rekomendasi dugaan pelanggaran administrasi dari Panwas Kecamatan terhadap penggunaan daftar hadir Pemilih di TPS 1 Desa Tambang Baru, Kec. Tabir Lintas, TPS 6 Kel. Dusun Bangko, Kec. Bangko, TPS 6 Desa Bukit Bungkul, Kec. Renah Pamenang, TPS 1 Desa Jelatang, Kec. Pamenang, dan TPS 4 Desa Jelatang, Kec. Pamenang. Panitia Pemilihan Kecamatan telah menyimpulkan bahwa terdapat daftar hadir yang tidak ditandatangani oleh Pemilih, tetapi ditandatangani oleh salah satu anggota KPPS. yang mana hal ini tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur tentang penggunaan daftar hadir sebagaimana Pasal 20 ayat (1) huruf b Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berbunyi “Sebelum Pemilih melakukan pemberian suara, ketua KPPS memanggil Pemilih yang telah mengisi daftar hadir untuk memberikan suara berdasarkan prinsip urutan kehadiran Pemilih” KPPS dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab seharusnya memastikan pemilih yang datang ke TPS telah mengisi daftar hadir sebelum menggunakan hak pilihnya. Sehingga dari semua rekomendasi Panwaslu Kecamatan tersebut PPK Renah Pamenang, PPK Pamenang, PPK Tabir Lintas, dan PPK Bangko  menetapkan bahwa rekomendasi Panwaslu Kecamatan serta kelengkapan dokumen kelengkapannya sesuai dengan ketentuan, dan  Rekomendasi memenuhi unsur pelanggaran administrasi pemilihan, namun karena jadwal tahapan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sudah berakhir dan kotak suara berserta dokumen administrasinya sudah disegel dan diserahkan kepada KPU Kabupaten, Panitia Pemilihan Kecamatan tidak dapat melakukan perbaikan kesalahan tata dan prosedur yang dilakukan KPPS terhadap penggunaan daftar hadir pemilih tersebut. Dan untuk selanjutnya Panitia Pemilihan Kecamatan melaporkan hasil tindak lanjut Rekomendasi kepada KPU Kabupaten Merangin. KPU Kabupaten Merangin selanjutnya menindaklanjuti laporan dari Panitia Pemilihan Kecamatan dengan memberikan sanksi berupa Peringatan kepada KPPS TPS 1 Desa Tambang Baru, Kec. Tabir Lintas, KPPS TPS 6 Kel. Dusun Bangko, Kec. Bangko, KPPS TPS 6 Desa Bukit Bungkul, Kec. Renah Pamenang, KPPS TPS 1 Desa Jelatang, Kec. Pamenang, dan KPPS TPS 4 Desa Jelatang, Kec. Pamenang karena terbukti melakukan pelanggaran administrasi. Permasalahan daftar hadir ini juga menjadi dalil atau alasan dalam pokok permohon yang diajukan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 1 (satu) yaitu Dr. Nalim, S.H.,M.M dan Nilwan Yahya, S.E sebagai Pemohon di Mahkamah Konstitusi pasca KPU Kabupaten Merangin Menetapkan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merangin Tahun 2024. Dengan adanya Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merangin Tahun 2024, maka sebagai bentuk Akuntabilitas, KPU Kabupaten Merangin harus menjawab setiap permasalahan dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan di Mahkamah Konstitusi terhadap dalil dalam permohonan pemohon termasuk penggunaan daftar hadir dalam pelaksanaan pemungutan suara. Bahwa berkenaan dengan permohonan tersebut, Pemohon mendalilkan adanya selisih suara yang disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif baik oleh Termohon maupun yang dilakukan oleh pasangan Nomor Urut 2 (dua) M. Syukur dan Drs. Abdul Khafidh dengan alasan-alasan sebagai berikut: Upaya penghalangan penggunaan hak pilih oleh Termohon secara sistematis, terstruktur dan massif; Pelanggaran-pelanggaran sebelum dan saat pencoblosan, Termohon memanipulasi daftar hadir oleh petugas KPPS, Termohon sengaja tidak menyampaikan undangan untuk memilih pada para pemilih, dan Termohon sengaja tidak secara benar mensosialisasikan pemilih dapat memilih dengan menunjukkan KTP; dan Pelanggaran-pelanggaran setelah pencoblosan yaitu upaya penghilangan hak pilih secara sistematis, terstruktur dan masif yang dilakukan oleh Termohon dan Pelanggaran administrasi Pilkada. Terjadinya kesalahan tata cara dan prosedur yang dilakukan KPPS pada saat pemungutan suara terhadap penggunaan daftar hadir yang menjadi rekomendasi Panwaslu Kecamatan ini juga merupakan salah satu alasan dalam dalil pemohon dalam hal ini Pasangan Calon Nomor Urut 1 (satu) Dr. Nalim, S.H.,M.M dan Nilwan Yahya, S.E dengan Nomor Perkara 180/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dimohonkan pada Mahkamah Konstitusi yang merupakan Lembaga yang berwenang mengadili dalam Perselisihan Hasil Pemilihan, Pemohon dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Januari 2025 menyatakan  adanya manipulasi daftar hadir di TPS 1 dan 4 Desa Jelatang, Kec. Pamenang, TPS 1 Desa Tambang Baru, Kec. Tabir Lintas, dan TPS 6 Kel. Dusun Bangko, Kec. Bangko. Namun dalam persidangan pada agenda mendengarkan Jawaban Termohon dan penyampaian alat bukti di Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Januari 2025 KPU Kabupaten Merangin sebagai Termohon membantah dalil Pemohon karena tidak benar adanya manipulasi daftar hadir di TPS tersebut pada saat pelaksanaan pemungutan suara, dimana kondisi yang sebenarnya adalah pemilih yang datang ke TPS tidak menandatangani daftar, namun ditandatangani oleh anggota KPPS karena beberapa faktor sebagaimana berikut: Pemilih hadir ke TPS datang dalam satu waktu sehingga terjadinya kerumunan pemilih di TPS sehingga KPPS kesulitan meminta tanda tangan pemilih; Terdapat Pemilih Lansia, Pemilih yang tidak bisa menulis, dan Pemilih yang tidak mau menandatangani Daftar Hadir sehingga meminta bantuan kepada KPPS; Formulir daftar hadir yang tidak ditemukan pada saat pemungutan suara dan ditemukan setelah pemungutan suara selesai sehingga KPPS memberi paraf pada daftar hadir bagi pemilih yang datang ke TPS. Sehingga kondisi yang sebenarnya terjadi pada saat pemungutan dan penghitungan suara di TPS tersebut adalah adanya kesalahan tata cara dan prosedur oleh KPPS. Rekomendasi Panwas Kecamatan terhadap kesalahan penggunaan daftar hadir di semua TPS pada saat pemungutan suara juga telah ditindaklanjuti oleh Panitia Pemilihan Kecamatan dengan mekanisme penanganan pelanggaran administrasi pemilihan. Walaupun Permohonan Pemohon dalam Perkara 180/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merangin di Mahkamah Konstitusi ditolak atau tidak dapat diterima. namun penggunaan daftar hadir pemilih ini meninggalkan persoalan dan menjadi catatan untuk perbaikan terhadap tata cara dan prosedur dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada masa yang akan datang yaitu: Dukungan Teknologi dan Informasi pencatatan daftar hadir pemilih yang datang ke TPS agar tidak ada penyalahgunaan pemilih dan keakuratan data; Melaksanakan Bimbingan Teknis yang Efektif sehingga KPPS dapat memahami tata cara dan prosedur dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara; Adanya pengawasan dari berbagai Pihak baik dari Pengawas Pemilihan, Pemantau Pemilihan, Peserta Pemilihan, maupun masyarakat untuk memastikan KPPS dalam melaksanakan tugas bekerja sesuai dengan ketentuan; dan Melakukan Sosialisasi secara luas kepada Pemilih agar adanya kesadaran dari Pemilih untuk mematuhi tata cara dan prosedur pemungutan suara. Suksesnya pelaksanaan pemungutan suara di TPS tentunya bukan hanya peran tunggal dari KPPS sebagai penyelenggara di tingkat TPS, namun diperlukan adanya dukungan dari berbagai pihak baik itu Pengawas Pemilihan, TNI, Polri, Pemerintah Daerah, Peserta Pemilihan, Pemantau Pemilihan, dan Masyarakat serta Pemangku Kepentingan lainnya. Sehingga KPPS sebagai Penyelenggara di tingkat TPS dapat bekerja secara Profesional dan Akuntabel.

Partisipasi Masyarakat Mengawal Data Pemilih yang Akurat

Partisipasi Masyarakat Mengawal Data Pemilih yang Akurat Oleh : Alber Trisman KPU Kabupaten Merangin   Pemilu di seluruh negara demokratis bukan mengenai kebebasan memberikan hak, tapi merupakan kehendak rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi.  Pemilu dan Pemilihan di Indonesia mengaplikasikan berbagai regulasi untuk menjaga substansi demokrasi sukses dicapai ketika mendapatkan perwakilan rakyatnya, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Maka, penting memupuk kesadaran dan  kepatuhan  terhadap  hukum  yang rancang dan diterbitkan agar berdampak kepada lembaga perwakilan rakyat yang dihasilkan atas proses pemilu yang demokratis. Untuk mencapai hal tersebut, peran partisipatif masyarakat dibutuhkan pada setiap proses dalam pemilu. Sementara itu, partisipasi bagi sebagian masyarakat masih dimaknai secara sempit, yaitu kehadiran pemilih ke TPS. Padahal partisipasi masyarakat secara luas mencakup makna keterlibatan warga negara dalam rangkaian proses perumusan agenda kebijakan, proses pengambilan kebijakan, pengisian jabatan kenegaraan, pelaksanaan kebijakan, kontrol terhadap kebijakan, dan evaluasi kebijakan. KPU sebagai lembaga publik membutuhkan pula peran pastisipatif masyarakat pada pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam menyelenggarakan pemilu dan pemilihan. Berbagai penelitian tentang perlibatan masyarakat dalam proses yang berkaitan dengan program pemerintah menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat berpengaruh pada suksesnya program serta kredibilitas atas proses dan hasil yang dicapai. Sejalan dengan hal tersebut, maka partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pemilihan dapat dikatakan wajib dioptimalkan partisipasinya, bukan saja partisipasi pada saat hari pemungutan suara, karena proses pemilu yang hampir selama 2 tahun tahapannya dan proses pemilihan berlangsung setidaknya kurang lebih 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Sepanjang proses tersebut partisipasi masyakarat dibutuhkan agar seluruh proses bernilai tinggi kepercayaannya dimata publik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagai landasan hukum penyelenggaraan pemilu mengatur 11 tahapan dalam pemilu. Salah satu tahapan pemilu dan pemilihan yang memiliki rentang waktu paling lama adalah tahapan pemutakhiran data pemilih. Dalam aturannya, hak pilih seorang warga negara tidak serta merta diberikan. Untuk dapat memberikan hak pilihnya, seorang warga negara harus memenuhi sejumlah syarat administratif yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Benar halnya bahwa hak   untuk   memberikan   suara   adalah hak   dasar   setiap   warga   negara, namun  untuk menjalankan  hak  ini  dengan  sepenuhnya,  setiap warga  harus  terdaftar  sebagai  pemilih, dan untuk terdaftar sebagai pemilih harus memenuhi sejumlah persyaratan.   Mengutip kembali pemahaman mengenai pentingnya partisipasi masyarakat untuk pemilu yang kredibel, maka penting juga memahami bahwa semua yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih untuk juga telah dicatat oleh KPU sebagai Pemilih. Ketika seorang Warga Negara Indonesia sudah tercatat Pemilih, maka hak mereka untuk memberikan hak pilihnya bukan saja diberikan, tapi telah memiliki kekuatan hukum untuk diberikan fasilitas yang baik saat memberikan suaranya di TPS oleh KPU. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana masyarakat mengawal proses pendataan pemilih, sehingga tercapai data pemilih yang akurat? Memastikan terpenuhinya hak untuk memilih bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat merupakan tugas penyelenggara pemilu dan pemilihan. Dengan didukung penyelenggara yang ada di setiap tingkatan di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan di luar negeri, KPU yang diberi kewenangan dalam melakukan pendataan pemilih nyatanya tetap memiliki keterbatasan. Proses pendaftaran pemilih bukan hal yang remeh, karena dari sana asal muasal angka-angka pemilih yang akan memberikan hak pilihnya hingga angka perolehan suara muncul, bukan dari sumber data yang lain. Tahapan  pemutakhiran data begitu penting karena selain tahapan tersebut memerlukan waktu yang sangat panjang, namun juga membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Tingkat keberhasilan penyusunan daftar pemilih  yang  akurat turut dipengaruhi oleh adanya partisipasi masyarakat. Pada masa pemutakhiran data pemilih, masih dijumpai  partisipasi  masyarakat  yang  rendah, padahal ruang yang diberikan oleh KPU bagi masyarakat untuk turut melakukan validasi atas data pemilih telah diatur melalui peraturan khusus tentang pendataan pemilih. KPU memberikan kesempatan bagi masyarakat melakukan validasi atau  pemeriksaan atas data pemilih yang telah dipublikasikan oleh KPU melalui berbagai media. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pemutakhiran data pemilih  memiliki peran sentral untuk akurasi data pemilih. Keterlibatan masyarakat untuk menyampaikan tanggapan atas data pemilih yang telah dipublikasikan menjadi pertimbangan bagi KPU untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian jika memang ditemukan ketidaksesuaian data pemilih yang dimiliki. KPU memahami bahwa keterbatasan atas jumlah personel pada akhirnya juga mempengaruhi akurasi data pemilih. Maka pada proses pendataan pemilih KPU juga melakukan sosialisasi masif kepada seluruh masyarakat yang dapat dijangkau untuk berperan aktif. Selain itu, KPU juga menyadari bahwa mobilitas penduduk yang tinggi akhirnya memunculkan data pemilih yang sangat dinamis. Setiap hari akan selalu ditemui adanya perubahan data seperti adanya warga negara yang pindah domisili, mencapai usia 17 tahun, meninggal dunia, menikah atau perubahan data kependudukan lainnya. Perubahan-perubahan data seperti itu memang terkadang tak dapat diketahui dengan segera, maka peran partisipatif masyarakat untuk menyampaikan informasi juga sangat berguna bagi KPU untuk mencapai data pemilih yang akurat. Di sisi lain, masyarakat masih belum sepenuhnya memahami bahwa masyarakat memiliki peran vital untuk turut memeriksa atas akurasi data pemilih yang disusun KPU. Sebagai contoh, pada penyelenggaraan pemilu, sebelum ditetapkan Daftar Pemilih Tetap, KPU melibatkan instansi terkait untuk melakukan singkronisasi data penduduk sebagai dasar penetapan Pemilih. KPU bersama sejumlah instansi terkait yakni Kementerian  Dalam  Negeri (Kemendagri),   Kementerian   Luar   Negeri   (Kemenlu), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Badan  Pengawas  Pemilu  (Bawaslu)  mengambil peran dan kewenangannya untuk mengoptimalkan data pemilih yang sedang disusun oleh KPU. Tetapi dalam praktiknya, seluruh instansi terkait yang dilibatkan juga memiliki keterbatasan yang serupa dengan KPU, SDM yang terbatas akhirnya juga mengakibatkan jangkauan personel yang juga tak menyeluruh, dan akhirnya pula peran partisipatif masyarakat diperlukan. Perlu membangun kesadaran di tengah masyarakat bahwa keberhasilan atas proses pemilu merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.

Post Electoral Period, KPU Melayani Tiada Henti

POST ELECTORAL PERIOD, KPU MELAYANI TIADA HENTI Hayatul Mughiroh Anggota KPU Kabupaten Merangin   Kita ketahui bersama bahwa teori siklus pemilu (electoral cycle) menjelaskan penyelengaraan pemilu dikatakan sebagai sebuah proses berkelanjutan yang dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan itu terdiri dari pra pemilu (pre-electoral period), pelaksanaan pemilu (electoral period), dan pasca pemilu (post electoral period). Teori ini dikembangkan untuk memahami tantangan jangka panjang pelaksanaan pemilu dan menekankan bahwa pemilu yang demokratis adalah kegiatan yang berkesinambungan. Pemilu serentak dan Pemilihan serentak telah dilaksanakan di seluruh Indonesia yang tak ada jeda waktunya. Keserentakan penyelenggaran Pemilu maupun Pemilihan menjadi momentum pertama dan menjadi sejarah bangsa Indonesia. Sejak pertengahan tahun 2022 hingga pertengahan 2025 pada akhirnya selesai, dengan penetapan kepala daerah di beberapa tempat tidak bersamaan karena adanya sengketa yang harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. KPU sebagai leading sector penyelenggara Pemilu telah menuntaskan pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan. Setiap putusan dari lembaga lain yang seharusnya ditindaklanjuti, juga telah dilaksanakan. Tentu, dengan selesainya tahapan Pemilu dan Pemilihan, banyak masyarakat yang bertanya: apa yang dilakukan KPU dan jajarannya pasca Pemilu dan Pemilihan? Perlu kita ketahui bersama bahwa Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 22E Ayat  (5) yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” selama ini dimaknai di dalam undang-undang Pemilu dengan adanya lembaga Pemilu di seluruh tingkatan, yakni KPU RI, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dengan masa jabatan lima tahun secara periodik. Dengan kata lain lembaga ini dapat dimaknai sebagai layanan kePemiluan yang berkelanjutan atau tidak putus. Satu hal yang penting dipahami dalam pengelolaan Pemilu, tidak ada jeda waktu dikatakan sebagai masa “kosong”. Kajian internasional tentang kepemiluan menjabarkan bahwa Pemilu adalah putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur atau dikenal dengan siklus Pemilu. Siklus Pemilu dipahami sebagai sebuah proses yang berkesinambungan, tidak terputus sehingga siklus tersebut saling mempengaruhi terhadap siklus lainnya. Bahkan, siklus yang berkesinambungan dalam Pemilu tidak memiliki titik awal yang pasti, konsistensi menjaga siklus tetap berjalan sampai pasca Pemilu bahkan lebih penting, karena untuk menjaga atau memperbaiki kualitas penyelenggaraan Pemilu ke depannya. Saat ini, pasca penetapan penetapan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah merupakan periode post-electoral. Publik banyak yang belum mengetahui, bahwa kinerja KPU di periode post-electoral itu ada giat kontinyu dalam artian bukan hanya saat akan digelar pesta demokrasi saja. Akan tetapi kerja-kerja yang dilakukan pacsa Pemilu atau Pemilihan atau yang biasa disebut non tahapan atau pada periode post-electoral. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan Pemilu kedepannya agar berjalan lebih baik.  Ada beberapa hal yang dilaksanakan KPU pada peride post-electoral, antara lain: Evaluasi secara Kontinu Pasca KPU menyelenggarakan Pemilu dan pemilihan, faktanya KPU dan jajarannya tidak berpangku tangan. banyak hal yang mesti dikerjakan. Pekerjaan yang dilakukan pasca tahapan adalah mengevaluasi kinerja tahapan. Laiknya sebuah manajemen, maka tahapan penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan sudah semestinya dievaluasi dari awal sampai selesai dari pelbagai sisi, baik sisi anggaran, perencanaan, teknis pelaksanaan maupun regulasinya. Dengan demikian POACE (Planning, Organizing, Actuating, Controlling dan Evaluating) dalam ilmu manajemen dilaksanakan secara lengkap di kelembagaan KPU. Evaluasi sebenarnya juga dapat dilakukan oleh para pihak eksternal. Para peneliti, pegiat demokrasi juga melakukannya. Namun demikian, akan lebih menarik jika pihak KPU sendiri yang lebih dahulu mengevaluasi, karena mereka sebagai pelaku sejarah itu sendiri. Hasil evaluasi ini bukan serta merta menjadikan tumpukan laporan, tetapi melahirkan rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan pada periode berikutnya. Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh KPU RI tetapi jajaran di tingkat bawah sudah seharusnya malkukan evaluasi karena setiap daerah memiliki karakteristik dan permasalahannya masing-masing. Sebagai contoh di Kabupaten A memiliki permasalahan terkait minimnya badan ad hoc sepi pendaftar, di daerah B terkait PSU yang berulang dan masih banyak lagi. Hasil dari evaluasi terhadap teknis penyelenggaraan ini dapat dijadikan referensi atau melahirkan sejumlah rekomendasi pada saat KPU RI menyusun regulasi. Selain evaluasi teknis, KPU dan jajarannya juga melakukan telaah hukum secara internal yang juga dilaporkan ke KPU RI. Telaah hukum terhadap regulasi yang sudah dilaksanakan, bukan berarti mengangkangi pembuat regulasi tetapi hal ini bertujuan untuk menyampaikan bahwa permasalahan yang dihadapi antar daerah berbeda, bisa jadi dalam penyelesaiannya ada yang mesti dimasukkan dalam regulasi (ke depannya). Pelaksanaan evaluasi baik terhadap penyelenggaraan maupun telaah hukum terhadap regulasi menjadi bagian dari rutinitas yang dilakukan secara kontinu. Pendidikan Pemilih Pendidikan pemilih merupakan elemen penting dalam demokrasi. Sehingga sudah sewajarnya pendidikan pemilih dilaksanakan dalam tahapan pemilu maupun di luar tahapan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencerdaskan pemilih dalam partisipasi aktifnya dalam berdemokrasi. Pendidikan pemilih bukan hanya bicara tentang kuantitas, bagaimana agar prosentase partisipasi pemilih mencapai target. Akan tetapi, pendidikan pemilih juga memiliki tujuan secara kualitas. Kualitas memilih bagi pemilih dalam menentukan pilihannya merupakan fondasi dasar agar tercapainya pemimpin yang berkualitas. KPU sebagai bagian dari penyeelnggara pemilu ikut bertanggung jawab dalam pendidikan pemilih ini. Meskipun, pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan pemilih menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa; penyelenggara pemilu, partai politik, organisasi masyarakat sipil, pemerintah, dan juga perguruan tinggi. Kualitas kandidat dan kualitas pemilih akan menetukan kualitas pemilu/pemilihan. Pada periode post electoral, KPU terus bersinergi dengan banyak lembaga untuk melaksanakan pendidikan pemilih. Tidak hanya masuk dalam ruang pemerintah, tetapi lembaga-lembaga pendidikan, pegiat demokrasi, lembaga riset menjadi media yang paling efektif untuk melakukan sosialisasi pendidikan pemilih. Dengan kata lain, KPU melakukan pendidikan pemilih di berbagai elemen untuk menjangkau masyarakat pemilih secara keseluruhan. Penataan Daerah Pemilihan (Dapil) dan Alokasi Kursi Daerah pemilihan merupakan pembagian wilayah tertentu yang dibentuk untuk keperluan pemilihan umum. Dalam menyusun Daerah Pemilihan (dapil) tidak hanya berdasarkan jumlah penduduk saja, tetapi banyak unsur yang mendasari dalam penataan dapil. Jika suatu daerah diperkirakan pada Pemilu selanjutnya, jumlah penduduk sudah harus menambah kursi, maka KPU mesti mempersiapkannya jelang Pemilu. Mengapa? Karena selain syaratnya jumlah penduduk, KPU mesti mempertimbangkan beberapa hal penting, termasuk prinsip-prinsip penyusunan dapil seperti kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem Pemilu proporsional, proporsionalitas, integritas wilayah, dan berada dalam cakupan wilayah yang sama. Selain itu, penataan dapil juga mempertimbangkan faktor kependudukan, data dan peta wilayah serta aspek kohesivitas sosial budaya.  Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan KPU telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan atau disingkat dengan PDPB. PDPB ini bertujuan untuk memelihara dan memperbaharui DPT Pemilu dan/atau Pemilihan terakhir secara berkelanjutan untuk menyusun DPT pada Pemilu dan/atau Pemilihan berikutnya dengan tetap menjamin kerahasiaan data. Selain itu PDPB juga bertujuan menyediakan data dan informasi pemilih berskala nasional mengenai data pemilih secara komprehensif, akurat dan mutakhir. Pelaksanaan PDPB dilakukan oleh KPU kabupaten/kota. Karena tidak adanya badan ad hoc di pasca Pemilu/Pemilihan, maka untuk mendapatkan data yang akurat, KPU kabupaten/kota melakukan koordinasi dengan beberapa instansi/lembaga terkait seperti Pemerintah Daerah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Polres dan Kodim untuk akurasi data TNI/POLRI, Bawaslu, dan stake holder lainnya. Koordinasi yang dilakukan oleh KPU untuk mendapatkan data yang mutakhir menjadi bagian penting. Namun demikian, KPU juga melayani pemilih yang datang langsung ke kantor atau berpartisipasi aktif untuk melaporkan dirinya ataupun orang lain untuk pembaharuan data pemilihnya. Hal ini dilakukan KPU denga cara mensosialisasikan secara aktif dan masif melalui media sosial, web maupun lewat stakeholder.  Hasil koordinasi dan tanggapan dari masyarakat tersebut, kemudian akan ditindaklanjuti oleh KPU. Jika data tersebut Memenuhi Syarat (MS) sebagai pemilih maka akan dimasukkan dalam data DPB, sebaliknya jika data tersebut dikategorikan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) lagi, maka akan dicoret dari data DPB. Rekapitulasi PDPB ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan setiap tiga bulan sekali yang dilaksanakan secara terbuka dengan dihadiri pihak terkait yang diundang. Untuk rekapitulasi PDPB di tingkat KPU Provinsi dan KPU RI dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Hasil rekapitulasi akan diumumkan kembali dengan tujuan sebagai informasi data pemilih berkelanjutan dan sebagai bahan untuk menerima tanggapan dari masyarakat. Pergantian Antar Waktu (PAW) Legislatif Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR, DPRD maupun DPD merupakan mekanisme penggantian anggota legislatif yang berhenti di tengah masa jabatan karena alasan tertentu, misalnya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau berhalangan tetap. PAW anggota anggota legislatif dapat terjadi kapan saja, karena alasan meninggal, mundur atau berhalangan tetap bukanlah sesuatu yang dapat dibuat-buat. Kejadian PAW bukan bagian dari tahapan Pemilu, karena hal ini terlaksana setelah anggota tersebut dilantik. Mekanisme PAW dilakukan sesuai dengan aturan hukum sebagaimana  dalam Undang Undang  Nomor 7 Tahun 2017 tenang Undang Undang Pemilu, Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pergantian Antar Waktu Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Selain itu, mekanisme PAW melibatkan KPU. Pelaksana KPU untuk menindaklanjuti usulan PAW adalah KPU yang memiliki lokus PAW tersebut. Proses Lelang Barang Habis Pakai Pemilu/Pemilihan dan Merapikan Arsip Pasca Pemilu atau Pemilihan, beberapa barang habis pakai mesti dilelang secara terbuka dan hasil lelang disampaikan ke kas negara karena bagian dari BMN (Barang Milik Negara). Sebagai contoh adalah surat suara dan administrasi pemungutan selama pemungutan dan pengitungan suara yang telah digunakan dilakukan lelang secara terbuka. Begitu juga dengan kotak suara dan bilik suara yang digunakan saat pemungutan suara. Selain pelaksanaan lelang barang habis pakai Pemilu, KPU juga melakukan pengarsipan dengan rapi. Sebagaimana instansi/lembaga lainnya, retensi terhadap arsip ada masanya. Setiap arsip Pemilu/pemilihan dipilah. Adapun arsip penting yang disimpan meski sudah memasuki retensinya dapat didokumentasikan sebagai bagian dari sejarah Pemilu/pemilihan. Untuk ketertiban pengelolaan arsip, KPU telah mengatur dalam PKPU 17 tahun 2023, tentang jadwal retensi arsip, pengelolaan dan penyelematan arsip. Pemutakhiran Keanggotaan Partai Politik Berkelanjutan secara Berjenjang Keanggotaan partai politik juga terus dilakukan pemutakhiran. Adanya kepengurusan yang baru, sudah sepatutnya KPU mengetahui untuk informasi keberlanjutan peserta pemilu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keabsahan struktur organisasi parpol di tingkat pusat hingga daerah; memperbaharui data keanggotaan; menyesuaikan alamat kantor dan pengurus; dan menunjukkan akuntabilitas dan transparansi publik. Untuk pemutakhiran keanggotaan partai politik, KPU telah menyediakan aplikasi SIPOL. Pemutakhiran keanggotaan partai politik dilakukan oleh pihak partai politik sendiri yang tinggal mengisi aplikasi yang telah disediakan. Jika ada perubahan kepengurusan, alamat atau kantor maka, parpol dapat merubahnya dan mengunggah dokumen yang terbaru sebagai bukti. Dengan demikian keanggotaan partai politik akan terus didapatkan yang mutakhir.  Pemutakhiran keanggotaan partai politik dilakukan per semester. Hal ini diatur dalam PKPU Nomor 4 tahun 2022 tentang Verifikasi dan Pendaftaran Partai Politik. Tujuh elemen di atas hanyalah beberapa bagian yang dilakukan secara kontinu oleh KPU dan jajarannya pasca dilaksanakan Pemilu/Pemilihan. Aktivitas tersebut telah menjadi tugas pokok dan fungsi KPU yang harus dilakukan untuk menjaga demokrasi di negeri ini. Beberapa contoh kegiatan di atas, tidak dapat dilakukan sendiri karena harus melibatkan beberapa pihak terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasca Pemilu/Pemilihan KPU sebagaibagian dari lembaga layanan masyarakat harus terus melayani bangsa ini, khususnya para pemilih dan juga peserta Pemilu.

Makna Kampanye dalam Demokrasi bagi Pemilih Muda

  Makna Kampanye dalam Demokrasi bagi Pemilih Muda Oleh : Kenny Ave Sayuti KPU Kabupaten Merangin   Sumpah Pemuda yang diperingati pada 28 Oktober setiap tahunnya merupakan ikrar berani yang menyatukan pemuda nusantara, yang menegaskan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa sebagai fondasi pelawanan kolonian pada masa itu. Pada 1928, para pemuda belum memiliki hak pilih, namun pemuda pada masa itu memiliki visi politik yang jauh lebih besar yakni cita-cita untuk membangun bangsa yang merdeka dan berdaulat. Memiliki nilai persatuan di atas perbedaan yang menjadikan generasi muda sebagai pelopor perubahan, dari lahirnya nasionalisme hingga kemerdekaan. Membangun semangat pemuda yang tak hanya bermimpi, tetapi juga berindak demi keutuhan bangsa. Di era demokrasi kontemporer, Pemilu 2024 menguji persatuan di atas perbedaan yang dimaksud tersebut. Dengan jumlah pemilih terdaftar sebanyak 204 juta pemilih yang didominasi oleh 56% pemilih usia muda berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang tercatat pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, suara pemuda mendominasi secara signifikan. Secara kuantitatif, pemilih usia muda mendominasi luar biasa tapi secara kualitatif ada pertanyaan sejauh mana pemilih muda dapat memahami tanggung jawab moral yang mewarisi semangat Sumpah Pemuda yang bernilai persatuan di atas perbedaan. Ikrar Sumpah Pemuda dapat menjadi pondasi etika dalam demokrasi. Konteks kampanye Pemilu 2024, nilai-nilai Sumpah Pemuda seharusnya diterapkan dalam cara pemuda berpatisipasi terutama memasuki era digital saat ini, cara menyampaikan informasi politik tanpa menebar ujaran kebencian. Pemilu 2024 yang lalu disebut juga “pemilu media sosial”, karena sebagian besar kampanye aktif dibeberapa platform media sosial peserta pemilu 2024. Pemuda tidak hanya menjadi pemilih tetapi juga menjadi pembuat pesan politik yang disampaikan melalui platform media sosialnya. Mulai dari video, konten bahkan meme yang dalam hitungan jam langsung dapat menjangkau jutaan orang. Peserta Pemilu dan tim sukses berlomba menciptakan citra yang menarik bagi generasi muda hingga tantangan bagaimana konten tersebut dapat viral dan diingat oleh pemilih. Kampanye seharusnya menjadi arena pendidikan politik, bukan sekedar hiburan massal, menuntut keaktifan bukan sekedar penerimaan pasif. Pemilih muda yang cerdas tidak hanya menonton tetapi juga membandingkan visi, membaca data dan menilai konsistensi janji para kandidat. Partisipasi seperti ini merupakan bentuk nyata kecerdasan demokratis yang menyadarkan bahwa suara bukan pemberian atau hadiah semata melainkan sebuah tanggung jawab. Sayangnya, kekuatan media sosial yang besar belum diimbangi dengan kesadaran kritis, yangmana kampanye politik seharusnya menjadi adu ruang gagasan tetapi menjadi arena kompetisi alogritma disetiap platform media sosial, demokrasi lebih cepat menyebar tetapi seringkali kehilangan kedalaman makna dan pemikiran. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan, sebagian besar pemilih muda mengenal peserta pemilu mereka dari media sosial, bukan dari debat gagasan atau partai politik membuat demokrasi menjadi kompetisi popularitas yang dikendalikan layar gawai. Media Sosial berubah menjadi arena polarisasi dan disinformasi, banyak pemuda menjadi relawan digital tanpa pemahaman mendalam yang kemudian menjadi jarak antara idealisme Sumpah Pemuda dan realitas demokrasi digital yangmana kebebasan berekspresi tak selalu diiringi dengan tanggung jawab. Mengapa diperlukannya tanggung jawab dalam penggunaan media sosial untuk kebutuhan kampanye digital ?, karena ikrar Sumpah Pemuda harusnya menjadi pondasi etika demokrasi dengan nilai tiga utama demokrasi yakni, persatuan, kesetaraan dan tanggung jawab moral. Tiga nilai tersebut harusnya menjadi ruh demokrasi modern dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda hidup dalam cara pemilih muda berpartisipasi dengan berdiskusi di ruang digital, cara menyebarkan informasi politk dan cara pemilih muda memilih dan menyampaikan tanpa menebar kebencian. Meski ini menjadi tantangan terbesar dalam era digital pemilih muda dapat dan berani menggunakan teknologi tanpa kehilangan nilai yang berdialog dengan etika dan tetap berpikir kritis di tengah arus informasi yang cepat. Demokrasi menjanjikan kesetaraan dan kebebasan namun dalam praktiknya demokrasi modren tidak sesederhana itu, demokrasi yang kita lihat saat ini bukan lagi arena yang murni idealis tetapi ada faktor-faktor material dan strategis meliputi biaya politik, media, teknologi dan persepsi publik. Pemilih muda yang idealis mungkin mempunyai gagasan hebat tapi tanpa logistik dan jaringan, suara yang ingin dikampanyekan bisa tenggelam. Demokrasi modren terbuka bagi semua orang tetapi justru karena terlalu terbuka jadi ajang perebutan suara yang tidak sehat dan itu akhirnya dapat menghilangkan nilai utama demokrasi. Kembali ke ikrar Sumpah Pemuda yang merupakan potret paling murni dari idealisme politik, tidak terikat kepentingan pribadi, partai atau kekuasaan. Semangat 1928 mengajarkan idealisme bukan berati menolak realitas, melainkan menuntun realitas agar tetap berada di jalan yang benar. Pemilih muda hari ini mungkin tidak berjuang di medan perang tetapi pemilih muda hari ini berperang melawan kelelahan moral, disinformasi dan pragmatisme politik. Pemilih muda diharapkan mengembalikan kesadaran demokrasi bahwa tidak hanya sekedar pesta suara melainkan belajar bersama untuk memahami makna kebangsaan.  Sumpah pemuda mengajarkan perjuangan tidak berhenti pada deklari tetapi juga komitmen menjaga pilihan tetap bermakna. Hasil dari kampanye yang digaungkan selama pemilu 2024 harusnya menuntut keberanian berpikir dan kejujuran moral, keberanian berpikir yang berarti tidak mudah terjebak pada arus opini serta kejujuran moral yang menolak politik transaksional yang menguntungkan, dua hal ini tentunya akan membuat demokrasi tetap hidup. Generasi muda yang kini dan kedepannya akan mendominasi jumlah pemilih di Indonesia memiliki kekuatan besar yang menentukan kualitas demokrasi. Kampanye memberi kesempatan bagi pemilih muda untuk mengenal wajah asli politik, antara janji yang disampaikan dengan kenyataan serta antara idealisme dan kepentingan. Kampanye yang tidak lagi terbatas pada panggung konvensional tetapi meluas hingga ke layar gawai pemilih yang membuat semua orang bisa menjadi juru kampanye dan menyampaikan pesan politik dimana akhirnya pemilih muda diuji untuk mampu memilah antara substansi dan sensasi. Makna terdalam kampanye bagi pemuda yakni kemampuannya menghidupkan kembali idealisme Sumpah Pemuda yang mengajak berpikir bersama demi kebaikan bersama, berpartisipasi dengan kesadaran, mampu membuat kampanye menjadi dialog kebangsaan yang bukan sekedar perlombaan suara. Yang pada akhirnya kampanye hanyalah salah satu bab dari perjalanan demokrasi yang mengukur kedawasaan politik bangsa. Partisipasi bukan hanya memilih pemimpin melainkan sedang membuat definisi demokrasi itu sendiri bahwa politik bukan hanya perebutan kekuasaan semata, melainkan perjuangan untuk menjaga cita-cita bersama. Ketika pemilih muda memilih dengan hati yang jernih, berbicara dengan etika dan berdebat dengan hormat itu membuat mereka menghidupkan kembali semangat 1928 yang menyatukan indonesia melalui kesadaran bersama tanpa adanya paksaan. Demikian dengan kampanye 2024 yang bukan menjadi akhir dari perjalanan demokrasi, melainkan kelanjutanya. Sebagai generasi muda yang menjadi penerus Sumpah Pemuda bukan hanya berupa ikrar tetapi dalam tindakan nyata, berpikir kritis, memilih dengan nurani dan menjaga demokrasi tetap berjiwa, beretika dan berkeadaban.