Sumpah Pemuda: Super Daya Demokrasi Indonesia
Sumpah Pemuda: Super Daya Demokrasi Indonesia Oleh : Nurfathu Qorida Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM KPU Kabupaten Merangin “ Kami putra dan putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia ” “ Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia ” “ Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia ” Demikian ikrar para pemuda Indonesia ketika 28 Oktober 1928 pada sidang ketiga dalam agenda Kongres Pemuda II di Ibu kota Hindia Belanda, Batavia (sekarang Jakarta) tepatnya di rumah indekos milik warga Tionghoa bernama Sie Kong Lian. Sekarang bangunan monumental tersebut menjadi museum Sumpah Pemuda, terletak di Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Penggagas perkumpulan kaum cendekiawan ini, ialah Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan dihadiri oleh organisasi pemuda dari seluruh Indonesia, meliputi Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemoeda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan Pemoeda Indonesia, termasuk wartawan, volksraad (DPR zaman Belanda), pengamat masalah Indonesia hingga Pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana dihimpun dari kesaksian Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono yang termuat dalam tajuk opini koran Sindo. Rumusan Sumpah Pemuda ditulis oleh Mohammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo selagi Mr. Sunario selaku salah satu utusan kongres sedang berpidato dalam sesi terakhir kegiatan tersebut. Selanjutnya Soegondo memberikan persetujuan pada “pesan sakti” berantai itu dan oleh peserta kongres lainnya diamini dengan bubuhan paraf setuju. Mengacu pada rujukan buku karya Raditya, Iswara N berjudul “ Fakta-fakta Menarik Sejarah Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ” tergambar, sebagai bagian pilar utama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, gema sumpah setia dari generasi muda yang berkongres untuk tujuan utama memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan di kalangan pemuda Indonesia itu, berakhir semarak oleh kemeriahan seiring ditampilkannya sebuah lagu instrumental diiringi alunan musik biola ciptaan seorang pemuda Indonesia merangkap sebagai wartawan bernama, W. R Supratman, hari ini alunan syair dan nada tersebut menjadi simbol kedaulatan sekaligus identitas nasional dalam lagu kemerdekaan Indonesia yaitu Indonesia Raya. Walaupun ketika akhir Kongres Pemuda II dinyanyikan oleh putri H. Agus Salim, Theodora Atia “Dolly” Salim dengan lirik dimodifikasi demi menghindari terprovokasinya Pemerintah Kolonial Belanda. Ikrar persatuan yang pertama kali diserukan pemuda Indonesia pada 9 dasawarsa lalu ini menggambarkan jati diri bangsa terlepas dengan berbagai latar belakang daerah, suku dan agama, namun berkomitmen bahwa tumpah darah, bangsa serta bahasa persatuan adalah hanya Indonesia. Teks bersejarah ini, kemudian resmi dinyatakan sebagai Keputusan Kongres Pemuda Indonesia dan dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda. Seumpama sebuah keyakinan, naskah Sumpah Pemuda akhirnya disebarluaskan selayaknya asas dalam semua perkumpulan kebangsaan Indonesia. Termasuk terhadap sistem pemerintahan---demokrasi. Kenapa? Momen Sumpah Pemuda menyiratkan spirit dan pesan, antara lain; secara geografis Indonesia luas dan majemuk, akan tetapi dapat dikumpulkan melalui perwakilan dalam Kongres Pemuda Indonesia. Para tokoh dalam perwakilan tersebut lalu memberikan dan menyebarkan gagasan nasionalisme sebagaimana tercantum sesuai Keputusan Kongres Pemuda Indonesia. Spirit nasionalisme berdasarkan kesatuan dan persamaan itu selanjutnya “dikunci” dalam gema Sumpah Pemuda. Sementara itu, merujuk pada buku “ Teori Demokrasi Memahami Teori dan Praktik ” karya Rahadi Budi Prayitno S.I.P., M.Si. dan Arlis Prayugo, S.I.P., M.Pd berdasarkan bahasa asalnya, Yunani, demokrasi yaitu demos yang artinya masyarakat dan kratein berarti mengatur. Kedua istilah di atas masing-masing lumrah dikenal dengan sebutan “rakyat” dan “kekuasaan”. Sedangkan secara etimologis demokrasi berarti kekuasaan rakyat. Dalam konteks pemerintahan, demokrasi artinya memberikan hak kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sehingga dapat disimpulkan definisi demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mana kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat dan dapat dijalankan secara langsung atau melalui perwakilan. Luar biasa! Pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia (1928) ternyata mengandung unsur-unsur demokrasi. Dua hal yang melekat, antara spirit persatuan pemuda dalam naungan masing-masing organisasi dan teknis mencapai tujuan bersama, oleh pemuda-pemudi Indonesia dapat tercapai serta mengikat melalui Keputusan Kongres Pemuda Indonesia, padahal forum Kongres Pemuda II itu terjadi pada dasawarsa ketiga abad ke-20. Era di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selaku organisasi yang acap kali dianggap sebagai panggung demokrasi internasional karena menempatkan kedudukan negara-negara sama di majelis akbar dunia bahkan belum ada. Bukankah PBB baru “lahir” pada Oktober tahun 1945? Sehingga dengan demikian, gaung Sumpah Pemuda nyaris satu abad yang lalu itu, bukan hanya sumber demokrasi di negeri ini, melainkan Super Daya Demokrasi Indonesia. Di atas panggung Kongres Pemuda, sebagai motor penggerak, pemuda Indonesia berhasil membangun pilar pencapai impian bersama atas nama kepentingan bangsa---Sumpah Pemuda. Secara tidak langsung mereka telah menampilkan cerminan demokrasi. Lantas bagaimana pemuda dan demokrasi saat ini? Berpedoman pada hasil tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat bahwa 56% pemilih berasal dari generasi Z dan milenial. Artinya pada Pemilu 2024 pemuda adalah kelompok dominan dalam perhelatan demokrasi. Namun cukupkah peran pemuda dalam demokrasi diakumulasi melalui tingkat partisipasi pemilih? Mengingat pemuda dielukan sebagai generasi penerus estafet kepemimpinan bangsa. Suka tidak suka pemuda mesti terjun langsung dalam prosesi hingga pengawasan terhadap hasil “pesta demokrasi” karena hampir seluruh elemen berkehidupan di negara ini bermuara dari proses yang melibatkan kebijakan politik hingga pada akhirnya ditetapkan oleh pemerintah berupa produk regulasi. Bahkan sekadar untuk harga secangkir kopi. Selaras dengan narasi dari John Dewey, seorang filsuf politik Amerika Serikat, “Demokrasi bukan sekedar sistem pemerintahan tetapi cara hidup, yakni kehidupan yang dijalani dengan penuh kebebasan dan kesetaraan”. Bayangkan! Bila pemuda, sang pewaris bangsa yang pundaknya memikul tanggung jawab melanjutkan perjuangan para founding fathers membangun negara berdaya di masa depan justru menarik diri dari unsur demokrasi, sama saja dengan pengabaian terhadap arah politik dan pembangunan bangsa. Bertolt Brecht menyebutkan, “Buta politik adalah kondisi terburuk yang bisa dialami oleh individu, karena ketidaktahuan ini menempatkan kita pada posisi yang rentan dan terpinggirkan”. Maka sebagai agen perubahan seyogyanya pemuda bukan saja berperan pasif dalam demokrasi negeri ini. Selayaknya esensi Super Daya Demokrasi Indonesia, melalui pengamalan nilai-nilai Sumpah Pemuda, seperti semangat gotong royong, patriotisme, musyawarah mufakat, kekeluargaan, cinta tanah air, cinta damai, persatuan dan tanggung jawab serta didukung dengan keilmuan yang terus diasah hingga mumpuni, pemuda harus terlibat aktif dalam mengimplementasikan proses dan makna demokrasi. Dengan kata lain, pada Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode berikutnya, hendaklah kualitas dan kuantitas pemuda yang mengenakan “pakaian” nasionalis serta berjalan dengan langkah ideologi bangsa sebagai bagian dari penentu arah kebijakan politik dapat meningkat. Konteksnya melalui langkah konkret baik secara formal pun non-formal. Sebagai contoh kecil jika berkecimpung pada dunia politik praktis, ciptakan regulasi yang wajib memasukkan klausul agar peserta Pemilu dan Pilkada setiap tingkatan kepengurusan menunjukkan komitmen nyata terhadap representasi dan partisipasi dalam membangun negeri ini. Tentunya sertakan “cubitan keras” bilamana bertentangan terhadap komitmen. Dan atau barangkali pemuda intens ikut serta dalam gerakan sosial berkelanjutan yang berfokus mencerdaskan diri dan calon pemilih lainnya, baik melalui platform digital maupun dialog interaksi, khusus hal ini selaras dengan komitmen KPU yaitu terus menggalakkan sosialisasi pendidikan terhadap pemilih yang tidak terbatas hanya saat tahapan Pemilu dan Pemilihan. Hingga pada akhirnya konsistensi ikhtiar melalui langkah konkret ini dapat mencapai output demokrasi, salah satunya yakni terpilihnya sosok pemimpin yang amanah dalam mengemban tanggung jawab sebagai perpanjangan tangan kedaulatan rakyat. Sehingga politik tidak hanya sebagai perahu mencapai kepentingan pribadi melainkan rumah berpondasi demokrasi dan “pesta demokrasi” tidak menjadi simbolis semu semata. Di tangan generasi muda digdaya melalui semangat hasil Kongres Pemuda, mereka (pemuda) kurun sekarang bukanlah sebagai figuran sirkus kekuasaan melainkan aktor utama yang menunjukkan martabat demokrasi sesungguhnya. Dengan demikian, dapat tercapai hakikat Sumpah Pemuda: Super Daya Demokrasi Indonesia.