Opini

Hak Politik yang Terjebak Oligarki dan Urgensi Pembentukan UN Guiding Principles on Political Parties and Democratic Governance

Hak Politik yang Terjebak Oligarki dan Urgensi Pembentukan UN Guiding Principles on Political Parties

and Democratic Governance

Oleh : Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M

Dosen Hukum Internasional FH-UNJA, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi.

 

Hak Politik sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia

Hak politik merupakan salah satu dimensi fundamental dalam sistem hak asasi manusia, karena melalui hak inilah warga negara dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Hak politik menegaskan hubungan antara individu dan kekuasaan, serta menjadi instrumen utama bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya secara sah dan bermartabat.

Dalam perspektif filsafat politik klasik, hak politik tidak pernah dipahami sebagai hak yang netral tanpa tujuan. Aristoteles, dalam Politics, menempatkan partisipasi politik sebagai sarana untuk mencapai the good life kehidupan publik yang dijalankan dengan kebijaksanaan dan keutamaan moral. John Locke dalam Two Treatises of Government menegaskan bahwa legitimasi politik hanya sah jika berasal dari kehendak bebas warga negara yang berakal sehat, sehingga hak untuk memilih dan dipilih harus dijalankan berdasarkan nalar dan tanggung jawab moral. Rousseau menambahkan dimensi etis bahwa partisipasi politik adalah wujud volonté générale atau kehendak umum yang mengarah pada kebaikan bersama, bukan pada kepentingan pribadi.

Dengan demikian, hak politik tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab moral untuk mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan dan berintegritas. Partisipasi politik bukan sekadar prosedur pemilihan, tetapi merupakan tanggung jawab etis warga negara untuk memastikan lahirnya kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana.

Hak Politik dalam Hukum Internasional dan ICCPR

Dalam hukum internasional, hak politik memperoleh legitimasi normatif yang kuat melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Pasal 25 ICCPR menegaskan tiga hak utama warga negara:

a) hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik secara langsung atau melalui wakil yang dipilih;
b) hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang bebas dan adil;
c) hak untuk mengakses jabatan publik atas dasar kesetaraan.

Kovenan ini menjadi pilar utama sistem demokrasi internasional, karena menjadikan partisipasi politik sebagai hak asasi yang harus dijamin oleh setiap negara pihak (state party). Namun demikian, ICCPR hanya memberikan jaminan secara formal dan prosedural, belum menegaskan dimensi substantif dari hak politik itu sendiri.

Hal ini terlihat dari tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai tanggung jawab aktor politik non-negara, seperti partai politik, dalam menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Akibatnya, meskipun negara telah melaksanakan pemilihan umum secara periodik, demokrasi substantif sering kali belum terwujud karena partai politik sebagai instrumen utama partisipasi justru bersifat oligarkis dan tertutup.

Kelemahan ini menunjukkan adanya jurang normatif dalam ICCPR, di satu sisi hak politik diakui secara luas, tetapi di sisi lain mekanisme pelaksanaannya melalui partai politik belum diatur secara komprehensif. Padahal, dalam praktik politik modern, hak untuk memilih dan dipilih hanya dapat direalisasikan melalui partai politik sebagai saluran representasi.

Hubungan Hak Politik dengan Partai Politik dan Demokrasi

Dalam sistem demokrasi perwakilan, partai politik berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dan kekuasaan. Melalui partai politik, aspirasi rakyat diterjemahkan menjadi kebijakan publik, dan melalui partai pula proses seleksi kepemimpinan dilakukan. Oleh karena itu, partai politik merupakan instrumen pelaksanaan hak politik yang paling strategis.

Namun, kenyataan di berbagai negara menunjukkan bahwa demokrasi internal partai politik sering kali lemah, baik dalam hal rekrutmen kader, pengambilan keputusan, maupun akuntabilitas publik. Banyak partai yang dikuasai oleh segelintir elite, sehingga proses politik menjadi tertutup dan transaksional.

Indeks Demokrasi Global yang diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara, dengan skor 6,71 dan dikategorikan sebagai “flawed democracy.” Kondisi ini memperlihatkan penurunan kualitas demokrasi sejak 2016. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2024 juga menunjukkan bahwa hanya 36% responden yang masih mempercayai partai politik sebagai lembaga representasi rakyat.

Fakta ini menunjukkan adanya defisit demokrasi internal yang berdampak langsung pada kualitas kepemimpinan politik dan legitimasi sistem demokrasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya meninjau kembali hubungan antara hak politik dan partai politik, di mana negara tidak boleh berhenti hanya pada penyelenggaraan pemilu, melainkan juga berkewajiban memastikan partai politik dikelola secara demokratis.

Kewajiban Negara dalam ICCPR: Dari Hak ke Tanggung Jawab

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ICCPR, setiap negara pihak memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjamin (to respect and to ensure) semua hak yang diakui dalam Kovenan tanpa diskriminasi. Artinya, negara bukan hanya dilarang untuk melanggar hak-hak politik warga negara (negative obligation), tetapi juga berkewajiban secara aktif untuk menjamin pelaksanaannya secara efektif (positive obligation).

Konsep ini diperjelas oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment No. 31 (2004) paragraf 8, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab tidak hanya atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparatnya, tetapi juga oleh aktor non-negara jika negara gagal mengambil langkah yang wajar untuk mencegah, menyelidiki, atau menghukum pelanggaran tersebut.

Dalam konteks ini, partai politik termasuk aktor non-negara yang memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan hak politik warga negara. Oleh karena itu, negara wajib memastikan agar partai politik tidak bertindak secara diskriminatif atau oligarkis dalam proses politik internalnya. Doktrin ini dikenal sebagai horizontal application of human rights, yaitu penerapan kewajiban negara dalam konteks hubungan antar subjek non-negara yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Demokrasi Internal Partai Politik dan Prinsip Good Democratic Governance

Pelaksanaan demokrasi internal partai politik merupakan syarat penting bagi tegaknya good democratic governance. Prinsip ini menekankan tata kelola yang didasarkan pada akuntabilitas, transparansi, partisipasi, supremasi hukum, dan integritas.

Menurut UNDP Governance for Sustainable Human Development (1997), demokrasi yang baik adalah demokrasi yang “memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi, memengaruhi, dan mengontrol keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.” Prinsip serupa ditegaskan oleh Venice Commission melalui Code of Good Practice in the Field of Political Parties (2008), bahwa partai politik harus mengelola urusan internalnya secara demokratis, transparan, dan akuntabel.

Dengan demikian, good democratic governance menjadi standar normatif bagi negara untuk memastikan partai politik tidak hanya menjadi alat perebut kekuasaan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga publik yang menjamin partisipasi politik secara adil dan setara.

Kelemahan Pengaturan Nasional dan Tantangan Implementasi

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih menempatkan demokrasi internal partai politik dalam kerangka administratif. Belum ada mekanisme substantif yang mengatur transparansi keuangan partai, rekrutmen kader yang terbuka, atau mekanisme akuntabilitas terhadap publik.

Akibatnya, negara belum sepenuhnya menjalankan kewajiban hukumnya dalam ICCPR untuk menjamin pelaksanaan hak-hak politik secara efektif. Demokrasi prosedural memang telah berjalan melalui pemilu yang reguler, tetapi demokrasi substantif masih terhambat oleh struktur internal partai yang tidak demokratis.

Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban negara dalam konteks ICCPR harus dimaknai lebih luas: negara tidak cukup hanya menyelenggarakan pemilu, tetapi juga harus memastikan partai politik tunduk pada prinsip-prinsip good democratic governance.

Urgensi Rekonstruksi Hukum Internasional dan Nasional

Melihat berbagai kelemahan tersebut, diperlukan rekonstruksi konseptual terhadap hak politik dalam ICCPR agar tidak berhenti pada dimensi prosedural, melainkan juga mencakup dimensi substantif. Negara harus dipandang sebagai duty bearer utama yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi demokrasi internal partai politik sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban internasionalnya.

Rekonstruksi ini dapat dilakukan melalui pengembangan hukum internasional, baik dengan membentuk General Comment baru atau Optional Protocol ICCPR yang menegaskan kewajiban negara untuk memastikan prinsip good democratic governance diterapkan dalam partai politik.

Urgensi Rekonstruksi Hukum Internasional dan Nasional

Melihat berbagai kelemahan tersebut, diperlukan rekonstruksi konseptual terhadap hak politik dalam ICCPR agar tidak berhenti pada dimensi prosedural, melainkan juga mencakup dimensi substantif. Negara harus dipandang sebagai duty bearer utama yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi demokrasi internal partai politik sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban internasionalnya.

Rekonstruksi ini dapat dilakukan melalui pengembangan hukum internasional, baik dengan membuat General Comment baru atau juga membentuk UN Guiding Principles on Political Parties and Democratic Governance (UNGP-PPDG), sebuah pedoman normatif yang menegaskan kewajiban negara untuk memastikan partai politik menjalankan prinsip-prinsip good democratic governance, serta tanggung jawab partai politik untuk menghormati hak-hak politik warga negara.

UNGP-PPDG ini tidak akan menafikan ICCPR, tetapi melengkapinya dengan pedoman implementatif, sebagaimana UNGP on Business and Human Rights (2011) melengkapi ICCPR, ICESCR, dan ILO Conventions.

Instrumen ini akan menjadi kontribusi akademik dan normatif yang orisinal, karena Memperluas cakupan horizontal application of human rights, Menyusun standar internasional baru bagi demokrasi partai politik, dan Mempertemukan human rights law dan democratic governance dalam satu kerangka global.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 282 kali