Opini

Tantangan Implementasi dan Integritas Penyelenggara Pemilu di Tingkat Badan AdHoc

Tantangan Implementasi Dan Integritas Penyelenggara Pemilu Di Tingkat Badan Ad Hoc

Oleh : JANIKO, M. Pd.

Anggota KPU Kabupaten Merangin Periode 2013 -2018

 

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia merupakan praktik demokrasi yang ambisius, bertujuan untuk efisiensi waktu dan biaya. Namun kompleksitas yang tinggi menempatkan beban kerja yang luar biasa pada garda terdepan pelaksanaannya. Badan Ad Hoc yang meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Badan-badan ini yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang profesional dan imparsial, justru menjadi titik kumpul berbagai tantangan dan masalah krusial. Tantangan tersebut bersifat multidimensi, mulai dari masalah manajerial sumber daya manusia, beban kerja ekstrem, hingga isu integritas yang mengancam kualitas dan legitimasi hasil Pemilu.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Merangin Periode 2013 – 2018 dan pengamatan penulis terhadap proses Pemilihan Serentak pada Tahun 2019 dan 2024 khususnya di Kabupaten Merangin, penulis merumuskan 3 (tiga) tantangan penyelenggara di tingkat Badan Ad Hoc Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai berikut :

  1. Tantangan Beban Kerja dan Kesejahteraan

Tantangan paling mendesak dan menimbulkan keprihatinan publik adalah beban kerja yang eksesif, terutama pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Sifat serentak Pemilu, di mana petugas harus menghitung suara untuk lima jenis pemilihan (Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) sekaligus, secara langsung memicu waktu kerja yang tidak manusiawi. Petugas KPPS sebagai unit terkecil, sering kali terpaksa bekerja secara maraton, melampaui 12 (dua belas) jam, bahkan hingga 24 (dua puluh empat) jam tanpa istirahat yang memadai. Kondisi ini yang didokumentasikan dengan tragis pada Pemilu sebelumnya yang berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental petugas, hingga menimbulkan korban jiwa. Dari sudut pandang ilmiah, kelelahan ekstrem secara langsung berkorelasi negatif dengan akurasi dan ketelitian kerja. Kelelahan membuka peluang besar bagi human error, terutama dalam proses krusial seperti penghitungan dan penulisan data dalam formulir C.Hasil- KWK. Kesalahan sekecil apapun dapat disalahartikan, yang pada akhirnya merusak integritas data dan memicu sengketa di tingkat yang lebih tinggi.

  1. Tantangan Integritas dan Kualitas Sumber Daya Manusia

Integritas penyelenggara Pemilu adalah prasyarat mutlak terwujudnya Pemilu yang jujur dan adil. Di tingkat Badan Ad Hoc, integritas diuji oleh dua faktor utama: netralitas dan kompetensi.

Pertama, tekanan politik lokal seringkali sangat kuat di tingkat desa atau kecamatan. Petugas Ad Hoc yang direkrut dari komunitas setempat rentan terhadap intervensi, godaan politik uang, atau bahkan intimidasi dari kontestan. Menjaga prinsip imparsialitas (ketidakberpihakan) menjadi perjuangan berat di tengah lingkungan sosial yang politis. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Badan Ad Hoc yang sering kali menjadi sasaran aduan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bahkan pelanggaran tersebut menjadi bahan dan materi untuk diajukan ke Makamah Konstitusi (MK).

Kedua, masalah kompetensi teknis juga menjadi hambatan. Pelatihan yang tergesa-gesa atau kurang memadai oleh KPU sering kali gagal memberikan pemahaman seragam tentang regulasi Pemilu yang kompleks. Akibatnya, PPK, PPS, dan KPPS di lapangan sering menghadapi kesulitan dalam menafsirkan aturan, terutama yang berkaitan dengan pemilih pindahan, surat suara yang sah atau tidak sah, dan prosedur rekapitulasi. Ketidakseragaman interpretasi ini berpotensi memicu masalah hukum dan administrasi yang seharusnya dapat dihindari. Bahkan yang lebih parah lagi, perubahan regulasi dari KPU Pusat terkait teknis terjadi pada saat dekat hari pemungutan suara, sementara kegiatan bimbingan teknis sudah dilakukan sebelumnya. Dan perubahan tersebut tidak secara menyeluruh sampai kepada penyelenggara di tingkat bawah untuk dilaksanakan, yang akhir menjadi masalah dan dianggap tidak sesuai aturan dalam menjalankan proses pemilihan.

  1. Tantangan Teknis dan Regulasi Implementasi

Implementasi Pemilu di tingkat bawah juga terhambat oleh tantangan teknis dan regulasi. Meskipun KPU berupaya memodernisasi proses dengan aplikasi seperti Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi), adopsi teknologi ini tidak berjalan mulus di tingkat Ad Hoc. Di beberapa wilayah dalam Kabupaten Merangin khususnya daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur jaringan internet menjadi kendala besar dalam pengiriman data. Selain itu, literasi digital sebagian petugas Ad Hoc masih rendah, mengubah alat bantu teknologi menjadi beban tambahan. Petugas harus berjuang dengan aplikasi yang rumit sambil tetap wajib melakukan rekapitulasi manual (prosedur double checking), yang semakin menguras energi.

Lebih jauh, tantangan koordinasi data antar-lembaga (misalnya antara KPU dan Bawaslu) seringkali menjadi isu yang menghambat pengawasan secara efektif. Ketidaksesuaian data pemilih atau keterbatasan akses pengawasan menunjukkan adanya diskoneksi antara kebijakan tingkat pusat dan realitas operasional di lapangan. Dalam hal ini, penting sekali untuk sinkronisasi dalam pemahaman teknis dan keterbukaan komunikasi dalam proses pelaksanaan di lapangan antara Pengawasan dan Penyelenggaraan.

Tantangan yang dihadapi oleh Badan Ad Hoc dalam Pemilu serentak merupakan cerminan dari kompleksitas Pemilu itu sendiri. Masalah beban kerja yang berujung pada ancaman kesehatan, kerentanan integritas di bawah tekanan politik lokal, serta hambatan teknis dalam implementasi regulasi adalah tiga variabel kritis yang harus ditangani.

Untuk menjamin Pemilu yang lebih berintegritas dan akuntabel di masa depan, intervensi strategis harus difokuskan pada: (1) Perbaikan regulasi untuk membatasi jam kerja dan menambah kuantitas personel Ad Hoc; (2) Penguatan sistem rekrutmen dan pelatihan yang menekankan pada standar kompetensi dan netralitas yang ketat; dan (3) Penyederhanaan dan penguatan infrastruktur teknologi agar benar-benar dapat mendukung, bukan memberatkan pekerjaan petugas di tingkat bawah. Dengan demikian, hanya dengan memberdayakan dan melindungi Badan Ad Hoc, kita dapat mewujudkan Pemilu yang bermartabat dan transparan.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 283 kali