Makna Kampanye dalam Demokrasi bagi Pemilih Muda
Makna Kampanye dalam Demokrasi bagi Pemilih Muda
Oleh :
Kenny Ave Sayuti
KPU Kabupaten Merangin
Sumpah Pemuda yang diperingati pada 28 Oktober setiap tahunnya merupakan ikrar berani yang menyatukan pemuda nusantara, yang menegaskan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa sebagai fondasi pelawanan kolonian pada masa itu. Pada 1928, para pemuda belum memiliki hak pilih, namun pemuda pada masa itu memiliki visi politik yang jauh lebih besar yakni cita-cita untuk membangun bangsa yang merdeka dan berdaulat. Memiliki nilai persatuan di atas perbedaan yang menjadikan generasi muda sebagai pelopor perubahan, dari lahirnya nasionalisme hingga kemerdekaan. Membangun semangat pemuda yang tak hanya bermimpi, tetapi juga berindak demi keutuhan bangsa.
Di era demokrasi kontemporer, Pemilu 2024 menguji persatuan di atas perbedaan yang dimaksud tersebut. Dengan jumlah pemilih terdaftar sebanyak 204 juta pemilih yang didominasi oleh 56% pemilih usia muda berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang tercatat pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, suara pemuda mendominasi secara signifikan. Secara kuantitatif, pemilih usia muda mendominasi luar biasa tapi secara kualitatif ada pertanyaan sejauh mana pemilih muda dapat memahami tanggung jawab moral yang mewarisi semangat Sumpah Pemuda yang bernilai persatuan di atas perbedaan.
Ikrar Sumpah Pemuda dapat menjadi pondasi etika dalam demokrasi. Konteks kampanye Pemilu 2024, nilai-nilai Sumpah Pemuda seharusnya diterapkan dalam cara pemuda berpatisipasi terutama memasuki era digital saat ini, cara menyampaikan informasi politik tanpa menebar ujaran kebencian. Pemilu 2024 yang lalu disebut juga “pemilu media sosial”, karena sebagian besar kampanye aktif dibeberapa platform media sosial peserta pemilu 2024. Pemuda tidak hanya menjadi pemilih tetapi juga menjadi pembuat pesan politik yang disampaikan melalui platform media sosialnya. Mulai dari video, konten bahkan meme yang dalam hitungan jam langsung dapat menjangkau jutaan orang. Peserta Pemilu dan tim sukses berlomba menciptakan citra yang menarik bagi generasi muda hingga tantangan bagaimana konten tersebut dapat viral dan diingat oleh pemilih. Kampanye seharusnya menjadi arena pendidikan politik, bukan sekedar hiburan massal, menuntut keaktifan bukan sekedar penerimaan pasif. Pemilih muda yang cerdas tidak hanya menonton tetapi juga membandingkan visi, membaca data dan menilai konsistensi janji para kandidat. Partisipasi seperti ini merupakan bentuk nyata kecerdasan demokratis yang menyadarkan bahwa suara bukan pemberian atau hadiah semata melainkan sebuah tanggung jawab.
Sayangnya, kekuatan media sosial yang besar belum diimbangi dengan kesadaran kritis, yangmana kampanye politik seharusnya menjadi adu ruang gagasan tetapi menjadi arena kompetisi alogritma disetiap platform media sosial, demokrasi lebih cepat menyebar tetapi seringkali kehilangan kedalaman makna dan pemikiran. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan, sebagian besar pemilih muda mengenal peserta pemilu mereka dari media sosial, bukan dari debat gagasan atau partai politik membuat demokrasi menjadi kompetisi popularitas yang dikendalikan layar gawai. Media Sosial berubah menjadi arena polarisasi dan disinformasi, banyak pemuda menjadi relawan digital tanpa pemahaman mendalam yang kemudian menjadi jarak antara idealisme Sumpah Pemuda dan realitas demokrasi digital yangmana kebebasan berekspresi tak selalu diiringi dengan tanggung jawab.
Mengapa diperlukannya tanggung jawab dalam penggunaan media sosial untuk kebutuhan kampanye digital ?, karena ikrar Sumpah Pemuda harusnya menjadi pondasi etika demokrasi dengan nilai tiga utama demokrasi yakni, persatuan, kesetaraan dan tanggung jawab moral. Tiga nilai tersebut harusnya menjadi ruh demokrasi modern dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda hidup dalam cara pemilih muda berpartisipasi dengan berdiskusi di ruang digital, cara menyebarkan informasi politk dan cara pemilih muda memilih dan menyampaikan tanpa menebar kebencian. Meski ini menjadi tantangan terbesar dalam era digital pemilih muda dapat dan berani menggunakan teknologi tanpa kehilangan nilai yang berdialog dengan etika dan tetap berpikir kritis di tengah arus informasi yang cepat.
Demokrasi menjanjikan kesetaraan dan kebebasan namun dalam praktiknya demokrasi modren tidak sesederhana itu, demokrasi yang kita lihat saat ini bukan lagi arena yang murni idealis tetapi ada faktor-faktor material dan strategis meliputi biaya politik, media, teknologi dan persepsi publik. Pemilih muda yang idealis mungkin mempunyai gagasan hebat tapi tanpa logistik dan jaringan, suara yang ingin dikampanyekan bisa tenggelam. Demokrasi modren terbuka bagi semua orang tetapi justru karena terlalu terbuka jadi ajang perebutan suara yang tidak sehat dan itu akhirnya dapat menghilangkan nilai utama demokrasi.
Kembali ke ikrar Sumpah Pemuda yang merupakan potret paling murni dari idealisme politik, tidak terikat kepentingan pribadi, partai atau kekuasaan. Semangat 1928 mengajarkan idealisme bukan berati menolak realitas, melainkan menuntun realitas agar tetap berada di jalan yang benar. Pemilih muda hari ini mungkin tidak berjuang di medan perang tetapi pemilih muda hari ini berperang melawan kelelahan moral, disinformasi dan pragmatisme politik. Pemilih muda diharapkan mengembalikan kesadaran demokrasi bahwa tidak hanya sekedar pesta suara melainkan belajar bersama untuk memahami makna kebangsaan. Sumpah pemuda mengajarkan perjuangan tidak berhenti pada deklari tetapi juga komitmen menjaga pilihan tetap bermakna. Hasil dari kampanye yang digaungkan selama pemilu 2024 harusnya menuntut keberanian berpikir dan kejujuran moral, keberanian berpikir yang berarti tidak mudah terjebak pada arus opini serta kejujuran moral yang menolak politik transaksional yang menguntungkan, dua hal ini tentunya akan membuat demokrasi tetap hidup.
Generasi muda yang kini dan kedepannya akan mendominasi jumlah pemilih di Indonesia memiliki kekuatan besar yang menentukan kualitas demokrasi. Kampanye memberi kesempatan bagi pemilih muda untuk mengenal wajah asli politik, antara janji yang disampaikan dengan kenyataan serta antara idealisme dan kepentingan. Kampanye yang tidak lagi terbatas pada panggung konvensional tetapi meluas hingga ke layar gawai pemilih yang membuat semua orang bisa menjadi juru kampanye dan menyampaikan pesan politik dimana akhirnya pemilih muda diuji untuk mampu memilah antara substansi dan sensasi. Makna terdalam kampanye bagi pemuda yakni kemampuannya menghidupkan kembali idealisme Sumpah Pemuda yang mengajak berpikir bersama demi kebaikan bersama, berpartisipasi dengan kesadaran, mampu membuat kampanye menjadi dialog kebangsaan yang bukan sekedar perlombaan suara. Yang pada akhirnya kampanye hanyalah salah satu bab dari perjalanan demokrasi yang mengukur kedawasaan politik bangsa. Partisipasi bukan hanya memilih pemimpin melainkan sedang membuat definisi demokrasi itu sendiri bahwa politik bukan hanya perebutan kekuasaan semata, melainkan perjuangan untuk menjaga cita-cita bersama. Ketika pemilih muda memilih dengan hati yang jernih, berbicara dengan etika dan berdebat dengan hormat itu membuat mereka menghidupkan kembali semangat 1928 yang menyatukan indonesia melalui kesadaran bersama tanpa adanya paksaan.
Demikian dengan kampanye 2024 yang bukan menjadi akhir dari perjalanan demokrasi, melainkan kelanjutanya. Sebagai generasi muda yang menjadi penerus Sumpah Pemuda bukan hanya berupa ikrar tetapi dalam tindakan nyata, berpikir kritis, memilih dengan nurani dan menjaga demokrasi tetap berjiwa, beretika dan berkeadaban.